Dalam 120 hari pertama
Terjadi pembentukan manusia dalam rahim mulai dari nuthfah (setetes mani), ‘alaqah (segumpal darah), mudhgah (segumpal daging) masing-masing selama 40 hari.
Dalil dan Referensi
HR. Bukhari, no. 6594 dan Muslim, no. 2643
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam menyampaikan kepada kami dan beliau adalah orang yang benar dan dibenarkan:
“Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya sebagai setetes mani (nuthfah) selama empat puluh hari, kemudian berubah menjadi setetes darah (‘alaqah) selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal daging (mudhgah) selama empat puluh hari.
Kemudian diutus kepadanya seorang malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya. Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain-Nya.
Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli surga hingga jarak antara dirinya dan surga tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli neraka maka masuklah dia ke dalam neraka. Sesungguhnya di antara kalian ada yang melakukan perbuatan ahli neraka hingga jarak antara dirinya dan neraka tinggal sehasta. Akan tetapi telah ditetapkan baginya ketentuan, dia melakukan perbuatan ahli surga maka masuklah dia ke dalam surga.”
—
Saat memasuki 40 hari ke 3 atau bulan ke-4, maka janin akan ditiupkan ruh dan ditetapkan 4 hal:
Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah Al-Mukhtashar. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya. hlm. 44-53
Sumber https://rumaysho.com/16173-rezeki-sudah-ditetapkan-ketika-dalam-rahim-ibu.html
—
Sumber Latha’iful Ma’arif: Agenda Ibadah Muslim Dalam Setahun
HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi
Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan sholat.”
Diriwayatkan dari Imam Al Bukhari, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi Ummu Sulaim (ibunya Anas).Ketika itu Ummu Sulaim mengatakan bahwa Anas (anaknya) siap menjadi pelayan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau mendoakan Anas dalam urusan akhirat dan dunianya. Di antara do’a beliau pada Anas adalah:
“Ya Allah, tambahkanlah rizki padanya berupa harta dan anak serta berkahilah dia dengan nikmat tersebut.” (HR. Bukhari no. 1982 dan Muslim no. 660).
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan Anas dengan do’a,
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480).
Dalam buku Ad Du’a minal Kitab was Sunnah, Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni hafizhohullah menyusun doa yang amat bagus sebagai berikut,
“Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii wa athil hayaatii ‘ala tho’atik wa ahsin ‘amalii wagh-fir lii.”
Yang artinya: “Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri. Panjangkanlah umurku dalam ketaatan pada-Mu dan baguskanlah amalku serta ampunilah dosa-dosaku).”
Doa ini adalah intisari dari dalil-dalil yang telah disebutkan di atas.
“Sesungguhnya kamu sekalian akan diseru (dipanggil) pada hari Kiamat dengan nama-nama kamu dan nama-nama bapak kamu. Oleh demikian elokkanlah nama-nama kamu.” HR. Imam Abu Daud dari Abu Dardak RA
“Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur (rambutnya), dan diberi nama (yang baik). HR. Tirmidzi No.2735; Abu Daud No.2527; Ibnu Majah No.3165. Disahihkan oleh Albani dalam kitab Al-Irwa’ No.1165.
Durasi menyusui anak
QS. Al-Baqarah (2):233, yang artinya: “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh bagi orang yang ingin menyempurnakan proses menyusui. Dan kewajiban ayah (adalah) nafkah mereka dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah menderita seorang ibu karena anaknya, dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya, ahli warispun (berkewajiban) seperti itu pula.”
QS. Luqman (31):14, yang artinya: “Dan Kami perintahkan manusia kepada orang tuanya (untuk) berbuat baik. Ibunya telah mengandungnya (dengan) susah payah dan melahirkannya (dengan) susah payah. (Masa) mengandung sampai menyapihnya (selama) tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan mencapai empat puluh tahun, dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku hingga mengalir kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim (berserah diri).”
Menyusukan kepada orang lain
QS. Al-Baqarah (2):233, yang artinya: “Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan antara keduanya dan permusyawaratan maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu jika memberikan apa yang pembayaran dengan cara yang patut. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah terhadap apa yang kamu kerjakan Maha Melihat.”
QS. Ath-Thalaaq (65):6, yang artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah nafkahnya kepada mereka sampai mereka melahirkan kandungannya. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu maka berikanlah kepada mereka imbalannya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu menemui kesulitan maka (anak itu) boleh disusui perempuan lain.”
Ketika Nabi Muhammad tiba-tiba harus menjelaskan apa itu rukun iman dan islam kepada para sahabatnya
Saat bersama Umat bin Khattab dan para sahabat lainnya, tiba-tiba Rasulullah didatangi seorang laki-laki dengan pakaian yang sangat putih dan wajahnya tidak menampakkan jejak-jejak perjalanan.
Laki-laki itu kemudian duduk di hadapan Rasulullah dan lalu berkata, “Hai Muhammad, terangkanlah kepadaku tentang Islam.”
Rasulullah SAW menjawab, “ Islam adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, serta mengerjakan haji ke Baitullah bila engkau mampu.”
Laki-laki itu berkomentar, “Engkau benar, wahai Muhammad!”
Para sahabat pun merasa heran dengan laki-laki tersebut. Karena, ia bertanya kepada Rasulullah tapi ia justru membenarkannya. Kemudian, laki-laki itu bertanya lagi kepada Rasulullah SAW, “Terangkanlah kepadaku tentang iman!”
Rasulullah SAW menjawab, “ Iman adalah engkau beriman (percaya) kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan engkau percaya kepada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.”
“Engkau benar, wahai Muhammad,” komentar laki-laki itu. Lalu ia bertanya lagi, “Terangkanlah kepadaku tentang ihsan!”
Rasulullah SAW menjawab, “ Ihsan adalah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Lagi-lagi laki-laki itu membenarkan jawab Rasulullah SAW, “Engkau benar, wahai Muhammad!”.
Begitulah penjelasan Rasulullah SAW tentang Islam, iman, dan ihsan kepada laki-laki tersebut, yang ternyata adalah malaikat Jibril. Malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu tersebut sedang menyamar untuk mengajarkan agama kepada manusia.
Sumber tambahan: republika.co.id
—
Mengetahui dan memahami 6 Rukun (pondasi) Iman:
1. Iman kepada Allah SWT;
2. para malaikat;
3. para nabi dan rosul;
4. kitab-kitab Allah;
5. hari Akhir; dan
6. Qadha’ dan Qadar
Disebutkan pula dalam QS. Al-Baqarah (2):3-4, yang artinya: “(yaitu), mereka yang beriman kepada yang ghaib, dan melaksanakan sholat, dan terhadap sebagian rezeki yang kami berikan, mereka menginfakkan, (3) dan mereka yang beriman kepada yang diturunkan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad), dan yang telah diturunkan sebelum engkau, dan terhadap akhirat mereka yakin, (4).”
Mengetahui dan memahami 5 Rukun (pondasi) Islam:
1. Syahadat
2. Sholat
3. Puasa
4. Zakat
5. Haji (bagi yang mampu)
Sedang dalam kajian referensi.
Sedang dalam kajian referensi.
Tentang Khitan atau Sunat
Khitan adalah sunnah fitrah yang sangat ditekankan, sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib untuk laki-laki, dan ia kemuliaan bagi wanita.
Khitan pada laki-laki yaitu memotong kulup yang berada di atas penis hingga kepala penis menjadi tidak tertutupi kulup. Memotongnya di usia anak-anak itu lebih utama, karena memang lebih mudah dilakukan ketika masih anak-anak.
Cara sunat pada perempuan yaitu cukup dengan hanya menghilangkan selaput yang menutupi klitoris dan tidak boleh berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi).
Dalil dan Hukum Khitan atau Sunat
Tentang Ihwal Perintah Sholat
Perintah sholat pertama kali diwahyukan langsung dari Allah, tidak melalui malaikat Jibril, tidak di bumi, melainkan dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Hal ini terdapat dalam HR. Muslim No.162.
Dari Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita:
“Lalu aku turun dan bertemu Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia bertanya : “Apa yang telah diwajibkan oleh Tuhanmu kepada umatmu?”
Aku menjawab : “Shalat lima puluh waktu.”
Nabi Musa berkata : “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Aku pernah mencoba Bani Israel dan menguji mereka”
Beliau bersabda : “Lalu Aku kembali kepada Tuhanku dan berkata, “Wahai Tuhanku, berilah keringanan kepada umatku”.
Maka diringankan lima waktu, Lalu aku kembali kepada Nabi Musa dan berkata : “Allah telah meringankan menjadi lima waktu”,
Nabi Musa berkata : “Umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi”.
Beliau bersabda : “Aku masih saja bolak-balik antara Tuhanku Tabaraka Wa Ta’ala dan Nabi Musa ‘Alaihis Salam“, sehingga Allah berfirman : “Wahai Muhammad.! Sesungguhnya aku wajibkan lima waktu sehari semalam, setiap shalat wajib dilipat gandakan dengan sepuluh kali lipat, maka pahalanya sama dengan lima puluh shalat.”
Dalil dan Hukum Perintah Sholat
Sedang dalam kajian referensi
Puasa wajib bulan Ramadhan (bulan ke-9).
Puasa 6 hari bulan Syawal (bulan ke-10).
Puasa sunnah Arafah bulan Dzulhijjah (bulan ke-12).
Puasa sunnah Asyura bulan Muharram (bulan ke-1).
Puasa sunnah 3 hari setiap bulan: Ayyamul Bidh.
Puasa sunnah setiap hari Senin dan Kamis.
Sedang dalam kajian referensi.
Sedang dalam kajian referensi.
Seperti disebutkan dalam QS. Al-Ahqaf (46):15,
حَتّٰٓى اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرۡبَعِيۡنَ سَنَةً ۙ قَالَ رَبِّ اَوۡزِعۡنِىۡۤ اَنۡ اَشۡكُرَ نِعۡمَتَكَ الَّتِىۡۤ اَنۡعَمۡتَ عَلَىَّ وَعَلٰى وَالِدَىَّ وَاَنۡ اَعۡمَلَ صَالِحًا تَرۡضٰٮهُ وَاَصۡلِحۡ لِىۡ فِىۡ ذُرِّيَّتِىۡ ؕۚ اِنِّىۡ تُبۡتُ اِلَيۡكَ وَاِنِّىۡ مِنَ الۡمُسۡلِمِيۡنَ ١٥
Yang artinya: “.. Sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan mencapai empat puluh tahun, dia berdoa:
Rabbi auzi’nī an asykura ni’matakallatī an’amta ‘alayya wa ‘alā wālidayya wa an a’mala ṣāliḥan tarḍāhu wa aṣliḥ lī fī żurriyyatī, innī tubtu ilaika wa innī minal-muslimīn.
Artinya: “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai, dan berikanlah kebaikan kepadaku hingga mengalir kepada anak cucuku. Sungguh aku bertobat kepada Engkau, dan sungguh aku termasuk orang muslim/berserah diri.”
5 Bekal utama saat memasuki usia 40
1. Banyak berdoa kepada Allah agar dibimbing mensyukuri nikmat hidup dan bisa meningkatkan bakti kedua orang tua.
Hal ini diambil dari doa Nabi Sulaiman pada QS. An-Naml (27):19, yang artinya:”Ya Tuhanku, bimbinglah aku untuk selalu mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada kedua orang tuaku, dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridha, dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang soleh.”
Bila ada kabar kematian, ucapkanlah: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
Disebutkan dalam QS. Al-Baqarah (2):156, yang artinya:
“(Yaitu) orang-orang apabila ditimpa musibah mereka berkata, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un (Sungguh kami milik Allah, dan sungguh kami kepada-Nyalah akan kembali).”
Doa apabila yang meninggal laki-laki
Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu, yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah dia (mayit laki-laki tunggal itu), belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya.”
Doa apabila yang meninggal wanita
Allahummaghfirlaha warhamha wa’aafiha wa’fu’anha, yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah dia (mayit perempuan tunggal itu), belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya.”
Doa apabila yang meninggal untuk dua orang (laki-laki atau perempuan)
Allahummaghfirlahuma warhamuma wa ‘afihima wa’fu ‘anhuma, yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah dua mayit itu, belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya.”
Doa apabila yang meninggal untuk laki-laki lebih dari dua atau banyak
Allahummaghfirlahum warhamum wa ‘afihim wa’fu ‘anhum, yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosa mereka.”
Doa apabila yang meninggal untuk perempuan lebih dari dua atau banyak
Allahummaghfirlahunna warhamunna wa ‘afihinna wa’fu ‘anhuna, yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah mereka, belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosa mereka.”
Memejamkan atau menutup kedua matanya.
HR. Muslim no. 920. Dari Ummu Salamah Hindun bintu Abi Umayyah radhiallahu’anha, ia mengatakan yang artinya:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam ketika mendatangi Abu Salamah yang telah meninggal, ketika itu kedua matanya terbuka. Maka Rosulullah shalallahu ‘alaihi wa salam pun memejamkan kedua mata Abu Salamah dan bersabda: “Sesungguhnya bila ruh telah dicabut, maka pandangan matanya mengikutinya. Ulama ijma bahwa memejamkan mata mayit hukumnya sunnah. Ketika memejamkan mata jenazah tidak ada dzikir atau doa tertentu yang berdasarkan dalil yang shahih.
Mendoakan untuk kebaikan mayit.
Boleh doa apapun yang berisi kebaikan untuk mayit. Bisa juga membaca doa “Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu,” untuk laki-laki atau “Allahummaghfirlaha warhamha wa’aafiha wa’fu’anha,” untuk perempuan.
Dalam HR. Muslim no. 920, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam setelah memejamkan mata Abu Salamah, beliau berdo’a, yang artinya:
“Ya Allah ampunilah Abu Salamah, angkatlah derajatnya dan jadikan ia termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, dan berilah ganti yang lebih baik bagi anak keturunannya, dan ampunilah kami dan dia wahai Rabb semesta alam, luaskanlah kuburnya dan terangilah.”
Mengikat dagunya agar tidak terbuka.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Ketika mayit meninggal (ditutup mulutnya) yaitu karena dikhawatirkan mulutnya terbuka ketika dimandikan dan ketika dipersiapkan. Sehingga hendaknya ditutup sampai bersatu antara gigi dan mulutnya.” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
Adapun tata caranya longgar, biasanya dengan menggunakan kain yang lebar dan panjang diikat melingkar dari dagu hinggake atas kepalanya, sehingga agar mulutnya tertahan dan tidak bisa terbuka.
Jenazah ditutup dengan kain.
HR. Bukhari no. 5814 dan Muslim no. 942. Hadits dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, beliau mengatakan:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau wafat, beliau ditutup dengan kain hibrah (sejenis kain Yaman yang bercorak).”
Bersegera mempersiapkan mayit untuk prosesi penguburan.
HR. Bukhari no. 1315, Muslim no. 944. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Percepatlah pengurusan jenazah. Jika ia orang yang shalih di antara kalian, maka akan jadi kebaikan baginya jika kalian percepat. Jika ia orang yang bukan demikian, maka keburukan lebih cepat hilang dari pundak-pundak kalian.”
—
Referensi: muslim.or.id
Hukum Memandikan Mayit
HR. Bukhari no. 1849, Muslim no. 1206. Hadits dari Abdullah bin Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:
“Ada seorang lelaki yang sedang wukuf di Arafah bersama Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Tiba-tiba ia terjatuh dari hewan tunggangannya lalu meninggal. Maka Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda: mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Dan kafanilah dia dengan dua lapis kain, jangan beri minyak wangi dan jangan tutup kepalanya. Karena Allah akan membangkitkannya di hari Kiamat dalam keadaan ber-talbiyah.”
HR. Bukhari no. 1258, Muslim no. 939. Dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha, ia berkata yang artinya:
“Salah seorang putri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam meninggal (yaitu Zainab). Maka beliau keluar dan bersabda:
“Mandikanlah ia tiga kali, atau lima kali atau lebih dari itu jika kalian menganggap itu perlu. Dengan air dan daun bidara. Dan jadikanlah siraman akhirnya adalah air yang dicampur kapur barus, atau sedikit kapur barus. Jika kalian sudah selesai, maka biarkanlah aku masuk”. Ketika kami telah menyelesaikannya, maka kami beritahukan kepada beliau. Kemudian diberikan kepada kami kain penutup badannya, dan kami menguncir rambutnya menjadi tiga kunciran, lalu kami arahkan ke belakangnya.”
Siapa Yang Memandikan Mayit?
Yang memandikan mayit hendaknya orang yang paham fikih pemandian mayit.
Lebih diutamakan jika dari kalangan kerabat mayit.
Dan wajib bagi jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki.
Demikian juga jenazah wanita dimandikan oleh wanita.
Karena Kecuali suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Hal ini dikarenakan wajibnya menjaga aurat.
Kecuali bagi anak yang berusia kurang dari 7 tahun maka boleh dimandikan oleh lelaki atau wanita.
HR. Ibnu Majah no. 1467 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah. Sebagaimana yang memandikan jenazah Nabi shallallahu’alaihi wasallam adalah Ali radhiallahu’anhu dan kerabat Nabi. Ali mengatakan:
“Aku memandikan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dan aku memperhatikan jasad beliau seorang tidak ada celanya. Jasad beliau bagus ketika hidup maupun ketika sudah wafat. Dan yang menguburkan beliau dan menutupi beliau dari pandangan orang-orang ada empat orang: Ali bin Abi Thalib, Al Abbas, Al Fadhl bin Al Abbas, dan Shalih pembantu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Aku juga membuat liang lahat untuk Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dan di atasnya diletakkan batu bata.”
Hukum Menjaga Aurat
HR. Tirmidzi no. 2794, dihasankan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi). Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam ditanya,
“Wahai Rasulullah, mengenai aurat kami, kepada siapa boleh kami tampakkan dan kepada siapa tidak boleh ditampakkan? Rasulullah menjawab: “Tutuplah auratmu kecuali kepada istrimu atau budak wanitamu.”
Alat Yang Digunakan Untuk Memandikan Mayit
Cara Memandikan Mayit
“Mayat ditutup dalam suatu ruangan yang tertutup pintu dan jendelanya. Sehingga tidak terlihat oleh siapapun kecuali orang yang mengurus pemandian jenazah. Dan tidak boleh dimandikan di hadapan orang-orang banyak” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/428).
Kemudian mayit ditutup dengan kain pada bagian auratnya terhadap sesama jenis, yaitu dari pusar hingga lutut bagi laki-laki dan dari dada hingga lutut bagi wanita.
“Adapun melemaskan persendian, hikmahnya untuk memudahkan ketika dimandikan. Caranya dengan merentangkan tangannya lalu ditekuk. Dan direntangkan pundaknya lalu ditekuk. Kemudian pada tangan yang satunya lagi. Demikian juga dilakukan pada kaki. Kakinya pegang lalu ditekuk, kemudian direntangkan, sebanyak dua kali atau tiga kali. Sampai ia mudah untuk dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
“Memecah tulang orang yang telah meninggal dunia adalah seperti memecahnya dalam keadaan hidup.” (HR. Abu Daud no. 3207, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).
“(Dilepaskan pakaiannya) yaitu pakaian yang dipakai mayit ketika meninggal. Disunnahkan untuk dilepaskan ketika ia baru wafat. Kemudian ditutup dengan rida (kain) atau semisalnya” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/424).
Cara melepaskan pakaiannya jika memang sulit untuk dilepaskan dengan cara biasa, maka digunting hingga terlepas.
Teknis Memandikan Jenazah
Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Disunnahkan tiga kali, boleh lebih dari itu jika dibutuhkan.
Bagi jenazah wanita, dilepaskan ikatan rambutnya dan dibersihkan. Kemudian dikepang menjadi tiga kepangan dan diletakkan di bagian belakangnya seperti yang disebutkan pada hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhialahu’anha diatas pada Hukum Memandikan Mayit.
Teknis memandikan mayit disebutkan dalam Matan Akhsharil Mukhtasharat, yang artinya:
“Berniat dan membaca basmalah, keduanya wajib ketika mandi untuk orang hidup.
Kemudian angkat kepalanya jika ia bukan wanita hamil, sampai mendekati posisi duduk.
Kemudian tekan-tekan perutnya dengan lembut. Perbanyak aliran air ketika itu, kemudian lapisi tangan dengan kain dan lakukan istinja (cebok) dengannya. Namun diharamkan menyentuh aurat orang yang berusia 7 tahun (atau lebih).
Kemudian masukkan kain yang basah dengan jari-jari ke mulutnya lalu gosoklah giginya dan kedua lubang hidungnya. Bersihkan keduanya tanpa memasukkan air.
Kemudian lakukanlah wudhu pada mayit.
Kemudian cucilah kepalanya dan jenggotnya dengan busa dari daun bidara. Dan juga pada badannya beserta bagian belakangnya. Kemudian siram air padanya. Disunnahkan diulang hingga tiga kali dan disunnahkan juga memulai dari sebelah kanan. Juga disunnahkan melewatkan air pada perutnya dengan tangan. Jika belum bersih diulang terus hingga bersih. Dimakruhkan hanya mencukupkan sekali saja, dan dimakruhkan menggunakan air panas dan juga daun usynan tanpa kebutuhan.
Kemudian sisirlah rambutnya dan disunnahkan air kapur barus dan bidara pada siraman terakhir.
Disunnahkan menyemir rambutnya dan memotong kumisnya serta memotong kukunya jika panjang”.
Boleh Digantikan Tayamamum
Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan, yang artinya:
“(Jika ada udzur untuk dimandikan, maka mayit di-tayammumi), yaitu karena adanya masyaqqah. Maka salah seorang memukulkan kedua tangannya ke debu kemudian diusap ke wajah dan kedua telapak tangannya. Ini sudah menggantikan posisi mandi. Misalnya bagi orang yang mati terbakar dan jika dimandikan akan rusak dagingnya, maka tidak bisa dimandikan. Demikian juga orang yang penuh dengan luka dan kulitnya berantakan. Jika terkena dimandikan dengan air maka akan robek-robek kulitnya dan dagingnya. Maka yang seperti ini tidak dimandikan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435-436).
Disunnahkan Mandi Bagi Yang Memandikan Mayit.
HR Abu Dawud no. 3161 dihasankan Al Albani dalam Ahkamul Janaiz no. 71. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu.”
Janin Yang Keguguran
Janin yang mati karena keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Jika 4 bulan atau kurang maka tidak perlu.
HR. Abu Dawud no. 3180, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud. Dari Al Mughirah bin Syu’bah secara marfu’, yang artinya:
“Janin yang mati keguguran, dia dishalatkan dan dido’akan ampunan dan rahmat untuk kedua orang tuanya.”
Syaikh Abdullah bin Jibrin mengatakan, yang artinya:
“Janin yang mati keguguran jika di bawah empat bulan maka yang shahih ia tidak dikafani. Namun ia dilipat dan dikuburkan di tempat yang bersih. Dan ia tidak diperlakukan sebagaimana manusia. Jika sudah berusia 4 bulan (atau lebih) maka diperlakukan sebagaimana manusia yang hidup, yaitu dimandikan, dikafani dan dishalatkan” (Ad Durar Al Mubtakirat Syarah Akhsharil Mukhtasharat, 1/435).
—
Sumber referensi: muslim.or.id
Hukum Mengkafani Mayit
Mengkafani mayit hukumnya sebagaimana memandikannya, yaitu fardhu kifayah.
Kriteria Kain Kafan
Kafan Mayit Wanita
Kafan untuk anak kecil
Teknis Mengkafani Mayit
Dalam matan Akhsharil Mukhtasharat disebutkan teknis mengkafani mayit:
“Disunnahkan mengkafani mayit laki-laki dengan tiga lapis kain putih dengan memberikan bukhur (wewangian dari asap) pada kain tersebut. Dan diberikan pewangi di antara lapisan. Kemudian diberikan pewangi pada mayit, di bagian bawah punggung, di antara dua pinggul, dan yang lainnya pada bagian sisi-sisi wajah dan anggota sujudnya. Kemudian kain ditutup dari sisi sebelah kiri ke sisi kanan. Kemudian kain dari sisi kanan ditutup ke sisi kiri. Demikian selanjutnya pada lapisan kedua dan ketiga. Kelebihan kain dijadikan di bagian atas kepalanya”.
Maka jika kita simpulkan kembali teknis mengkafani mayit adalah sebagai berikut:
—
Sumber: muslim.or.id
Rukun dan Cara Mengerjakan Sholat Jenazah
Niat, dengan lafal berikut:
Untuk jenazah laki-laki, Ushollii ‘alaa haadzal mayyiti arba’a takbiiraatin fardhu kifaayatin lillaahi ta’aalaa, yang artinya,
“Saya berniat melaksanakan sholat atas mayat ini dengan empat kali takbir, fardhu kifayah karena Allah Ta’ala.”
Untuk jenazah perempuan, haadzaa diganti haadzihii, Ushollii ‘alaa haadzihii mayyiti arba’a takbiiraatin fardhu kifaayatin lillaahi ta’aalaa.
Takbiratul ihram, lalu membaca surat Al-Faatihah
Takbir kedua, lalu membaca sholawat Nabi:
Allahumma shalli ‘alaa muhammad, yang artinya:
“Ya Allah, berilah sholawat atas Nabi Muhammad.”
Takbir ketiga, lalu membaca doa.
Untuk jenazah laki-laki, Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu, yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah dia (mayit laki-laki tunggal itu), belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya.”
Untuk jenazah perempuan, hu/hi diganti ha, Allahummaghfirlaha warhamha wa’aafiha wa’fu’anha,
yang artinya:
“Ya Allah, ampunilah dia (mayit perempuan tunggal itu), belas kasihanilah, hapuskanlah dan ampunilah dosa-dosanya.”
Takbir keempat, lalu membaca doa.
Untuk jenazah laki-laki, Allaahumma laa tahrimna ajrahuu, wa laa taftinnaaba’dahuu, waghfir lanaa wa lahuu, yang artinya:
“Ya Allah, janganlah kiranya pahalanya tidak sampai kepada kami, janganlah Engkau memberi kami fitnah sepeninggalnya, dan ampunilah kami dan ia.”
Untuk jenazah perempuan, huu diganti haa, Allaahumma laa tahrimna ajrahaa, wa laa taftinnaaba’dahaa, waghfir lanaa wa lahaa.
Ditutup salam.
Dengan memalingkan muka ke kanan dan ke kiri. Sambil mengucap salam, Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh, yang artinya,
“Semoga keselamatan dan rahmat Allah tetap dilimpahkan atas kamu sekalian.”
—
Sumber: Panduan Muslim Kaffah Sehari-hari. Ditulis oleh Dr. Muh Hambali, M.Ag
Hukum Menguburkan Mayit
Menguburkan mayit hukumya fardhu kifayah.
Andaikan ada seorang muslim di suatu daerah meninggal dunia dan tidak ada seorang muslim pun yang menguburkannya, maka seluruh penduduk daerah tersebut berdosa. Namun, ketika sudah ada sebagian muslim yang mencukupi untuk menguburkannya, maka kewajibannya gugur dari kaum muslimin yang lain.
Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Allah mengutus seekor burung gagak menggali tanah untuk diperlihatkan kepadanya (Qabil). Bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya” (QS. Al-Maidah: 31)
Allah Ta’ala juga berfirman, “Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul. Bagi orang-orang hidup dan orang-orang mati.” (QS. Al-Mursalat: 25–26)
Allah Ta’ala juga berfirman, “Kemudian Dia mematikannya lalu menguburkannya.” (QS. ‘Abasa: 21)
Ayat-ayat di atas menunjukkan disyariatkannya menguburkan orang yang telah meninggal.
Dalam hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Segeralah beranjak dan kuburkan teman kalian itu…!” (HR. Muslim no. 2236)
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para syuhada, “Kuburkanlah orang yang terbunuh di tempat mereka berperang.” (HR. Abu Daud no. 3165, At-Tirmidzi no. 1717, disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa menguburkan orang yang mati hukumnya wajib. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkannya dengan kalimat perintah. Ibnul Mundzir rahimahullah mengatakan, “Para ulama ijma’ (sepakat), menguburkan mayit itu wajib. Sehingga wajib bagi orang-orang untuk melakukannya dan tidak boleh meninggalkannya, selama masih memungkinkan. Dan jika sudah ada yang melakukannya, gugur kewajibannya dari kaum muslimin yang lain.” (Al-Ijma‘, hal. 44)
Waktu Pemakaman
Waktu untuk memakamkan mayit adalah masalah yang longgar. Pada asalnya pemakaman boleh dilakukan kapan pun, dengan berusaha menyegerakan pemakaman mayit dan tidak menundanya tanpa uzur.
Namun, para ulama melarang untuk memakamkan mayit pada tiga waktu terlarang sebagaimana waktu terlarang salat. Dalam hadis dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
ثلاثُ ساعاتٍ كان رسولُ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم ينهانا أن نُصَلِّيَ فيهنَّ، وأن نَقْبُرَ فيهِنَّ موتانا: حين تَطْلُعُ الشَّمْسُ بازغةً حتى ترتفِعَ، وحين يقومُ قائِمُ الظَّهيرةِ حتى تزولَ، وحين تَضَيَّفُ الشَّمْسُ للغُروبِ
“Ada tiga waktu yang dahulu dilarang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk salat dan menguburkan orang meninggal di antara kami. Yaitu, (1) ketika baru saja matahari terbit sampai agak meninggi, (2) ketika matahari tegak lurus sampai sedikit bergeser, dan (3) ketika matahari hampir tenggelam.” (HR. Muslim no. 831)
Adapun melakukan pemakaman di malam hari, para ulama empat mazhab membolehkannya. Berdasarkan hadis dari Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أنَّ رسولَ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، مرَّ بقبرٍ قد دُفِنَ ليلًا، فقال: متى دُفِنَ هذا؟ قالوا: البارحةَ، قال: أفَلَا آذَنْتُموني؟ قالوا: دفنَّاه في ظُلْمَةِ اللَّيلِ، فكَرِهْنا أن نُوقِظَك، فقام، فصَفَفْنا خَلْفَه، قال ابنُ عبَّاس: وأنا فيهم، فصلَّى عليه
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati kuburan yang jenazahnya dikuburkan di malam hari. Beliau bersabda, ‘Kapan ia dikuburkan?’ Para sahabat menjawab, ‘Tadi malam, wahai Rasulullah.’ Beliau bersabda, ‘Mengapa kalian tidak memberitahu aku?’ Para sahabat menjawab, ‘Tadi malam kami menguburkannya di kegelapan malam. Kami tidak ingin membangunkan Anda, wahai Rasulullah.’ Kemudian Rasulullah berdiri dan menyusunkan dalam saf di belakang beliau. Ibnu Abbas mengatakan, ‘Aku salah satu di antara mereka.’ Kemudian Rasulullah dan para sahabat pun melakukan salat (jenazah) untuknya.” (HR. Bukhari no. 1321, Muslim no. 954)
Larangan Duduk Sebelum Mayit Dikuburkan
Terdapat larangan bagi para pengiring jenazah untuk duduk di area pemakaman sebelum mayit dimakamkan. Karena terdapat larangannya dalam hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا اتَّبَعْتم جِنازة، فلا تجلسوا حتى تُوضَعَ
“Jika kalian mengiringi jenazah, maka jangan duduk sampai ia dimasukkan ke liang kubur.” (HR. Bukhari no. 1310, Muslim no. 959)
Dari hadis ini, sebagian ulama mengatakan bahwa duduknya para pengiring jenazah sebelum mayit dimakamkan, hukumnya makruh. Ini pendapat mazhab Hanafi, Hambali, Ibnul Qayyim dan Asy-Syaukani. Ini juga pendapat yang dikuatkan oleh Syekh Ibnu Baz dan Syekh Ibnu Al-‘Utsaimin.
Namun, Malikiyah dan Syafi’iyyah membolehkan hal tersebut berdasarkan dalil hadis dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang bicara tentang tata cara pengurusan jenazah. Beliau radhiyallahu ‘anhu berkata,
إِنَّ رَسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّم قامَ، ثُمَّ قَعَدَ
“Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri ketika menunggu jenazah, kemudian setelah itu beliau duduk.” (HR. Muslim no. 962)
Mereka memaknai perkataan “kemudian setelah itu beliau duduk” sebagai nasakh. Yakni, larangan untuk duduk sebelum mayit dikuburkan telah mansukh (dihapus).
Namun, yang lebih berhati-hati adalah memilih pendapat yang pertama, karena perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih didahulukan daripada perbuatan beliau. Demikian juga, tidak duduk sebelum mayit dikuburkan ini lebih memberikan penghormatan kepada mayit. Wallahu a’lam.
Tempat Memakamkan Mayit
Tempat yang paling utama untuk memakamkan mayit seorang muslim adalah di pemakaman kaum muslimin. Ini adalah pendapat ulama 4 mazhab. Dahulu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa memakamkan jenazah kaum muslimin di pemakaman Baqi’. An-Nawawi rahimahullah mengatakan,
حديثُ الدَّفنِ بالبقيعِ صحيحٌ متواتِر
“Hadis tentang memakamkan jenazah di Baqi’ statusnya shahih mutawatir.” (Al-Majmu‘, 5: 282)
Manfaat yang didapatkan jika jenazah dimakamkan di pemakaman kaum muslimin di antaranya:
Pertama: Akan banyak didoakan oleh orang-orang yang berziarah kubur atau melewati pemakaman. (Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, 2: 379)
Kedua: Menyerupai perkampungan akhirat di mana kaum mukminin semua berkumpul kelak di akhirat. (Syarah Muntahal Iradat karya Al-Buhuti, 1: 376)
Ketiga: Lebih sedikit mudaratnya bagi keluarga mayit. (Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni, 2: 379)
Dan pemakaman kaum muslimin hendaknya dipisah dengan pemakaman nonmuslim. Sebagaimana hadis dari Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
بَيْنَمَا أَنَا أُمَاشِي رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَرَّ بِقُبُورِ الْمُشْرِكِينَ فَقَالَ : ( لَقَدْ سَبَقَ هَؤُلاَءِ خَيْرًا كَثِيرًا ) ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَرَّ بِقُبُورِ الْمُسْلِمِينَ فَقَالَ 🙁 لَقَدْ أَدْرَكَ هَؤُلاَءِ خَيْرًا كَثِيرًا )
“Ketika aku menjadi teman jalannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami melewati pemakaman kaum musyrikin. Beliau bersabda, ‘Sungguh dahulu (ketika hidup) mereka merasakan banyak kebaikan.’ Beliau katakan ini 3x. Kemudian kami melewati pemakaman kaum muslimin, beliau bersabda, ‘Sungguh mereka sekarang mendapatkan kebaikan yang banyak.’” (HR. Abu Daud no. 3230, dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud)
Hadis ini menunjukkan bahwa yang diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat adalah mereka memisahkan pemakaman kaum muslimin dengan pemakaman nonmuslim.
Dan ulama sepakat akan hal ini. Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah disebutkan,
اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ دَفْنُ مُسْلِمٍ فِي مَقْبَرَةِ الْكُفَّارِ وَعَكْسُهُ إِلاَّ لِضَرُورَةٍ
“Para fuqaha sepakat bahwa diharamkan memakamkan muslim di pemakaman orang kafir atau sebaliknya, kecuali jika darurat.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 19: 21)
Jenazah muslim boleh dimakamkan di pemakaman nonmuslim atau pemakaman umum yang tercampur antara muslim dan nonmuslim jika kondisinya darurat. Semisal tidak ada lahan lain, atau lahan pemakaman harus membeli dengan harga mahal, atau pemerintah memaksa untuk dimakamkan di sana.
Jumhur ulama dari Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Malikiyah membolehkan untuk memakamkan mayit di rumah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dimakamkan di rumah ‘Aisyah. Demikian juga Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma, dimakamkan di samping makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di rumah ‘Aisyah.
Namun, yang rajih dan lebih hati-hati adalah pendapat yang melarang memakamkan mayit di rumah. Sebagaimana hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لا تَجْعلوا بُيُوتَكم مقابِرَ
“Jangan jadikan rumah kalian sebagai kuburan!” (HR. Muslim no. 780)
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjelaskan, “Wajib memakamkan mayit di pemakaman kaum muslimin, tidak boleh di rumahnya. Adapun Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma dimakamkan di rumah ‘Aisyah karena mereka berdua adalah sahabat yang istimewa bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga pemakaman beliau bertiga di dalam rumah adalah pemakaman yang khusus. Berdasarkan ijtihad dari sebagian sahabat.” (At-Ta’liq ‘ala Riyadhis Shalihin ‘ala Qira’ah, Syekh Muhammad Ilyas, no. 168)
Memindahkan Mayit ke Daerah Lain Sebelum Dimakamkan
Yang paling utama bagi mayit adalah dimakamkan di tempat ia meninggal. Ibnul Munzir rahimahullah mengatakan,
يُستَحَبُّ أن يُدْفَنَ المَيِّتُ في البلدِ الذي تُوُفِّيَ فيه، على هذا كان الأمْرُ على عهدِ رسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم، وعليه عوامُّ أهلِ العِلْمِ، وكذلك تفعلُ العامَّة في عامَّة البلدان
“Dianjurkan untuk memakamkan mayit di daerah tempat ia wafat. Itulah yang biasa dilakukan di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan juga keumuman praktek para ulama. Dan ini pula yang dipraktekkan oleh keumuman kaum muslimin di berbagai negeri.” (Al-Ausath, 5: 516)
Namun, dibolehkan untuk memindahkan mayit ke daerah lain jika ada kebutuhan. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Imam Malik rahimahullah mengatakan,
إنَّ سعدَ بنَ أبي وقَّاصٍ وسعيدَ بنَ زيدٍ ماتا بالعقيقِ، فحُمِلَا إلى المدينةِ، ودُفِنَا بها
“Sa’ad bin Abi Waqqash dan Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma keduanya wafat di Al-‘Aqiq. Namun, kemudian jenazahnya dibawa ke Madinah dan dimakamkan di sana.” (Al-Muwatha’, no. 977)
Bentuk Lubang Kuburan
Ada dua bentuk lubang kuburan yang biasa digunakan, yaitu syaq dan lahd (lahad). Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
اللَّحْدُ: الشَّقُّ فِي جَانِبِ الْقَبْرِ؛ فيَحْفِر في أرضِ القَبْرِ مِمَّا يلي القبلةَ مكانًا يُوضَع المَيِّت فيه. والشَّقُّ هو أن يَحْفِرَ في أرض القَبرِ شقًّا يَضَعُ المَيِّتَ فيه، ويَسْقِفُه عليه بشيءٍ
“Lahad adalah lubang yang berada di sisi dinding kuburan. Digali lubang pada dasar kuburan yang menghadap kiblat, untuk tempat diletakkannya mayit. Adapun syaq adalah lubang yang digali pada dasar kuburan, sehingga bisa ditutup dari bagian atasnya.” (Al-Mughni, 2: 371-372)
Kesimpulannya, lahad itu dibagian pinggir, sedangkan syaq itu di bagian tengah dari lubang kubur.
Ulama 4 mazhab sepakat bahwa lahad lebih utama dari pada syaq. Berdasarkan hadis dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
الْحَدُوا لي لَحْدًا، وانصِبوا عليَّ اللَّبِنَ نَصْبًا، كما صُنِعَ برسولِ الله صلَّى الله عليه وسلَّم
“(Jika aku meninggal), buatlah liang lahad untukku, dan tegakkanlah di atasku batu bata. Sebagaimana yang dilakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 966).
—
Sumber: muslim.or.id